Inggil Resto. Foto by MKW
Inggil Resto. Foto by MKW

Makan bukan semata urusan perut, tapi juga mata dan suasana. Maka, tempat makan yang enak adalah yang memberikan atmosfir menyenangkan buat pelanggannya. Begitu banyak rumah makan, restoran memilih tema alam untuk menarik konsumen, namun rumah makan yang satu ini memilih tema yang berbeda. Ini adalah Museum Resto, yang tak saja menyajikan makanan dan minuman penghilang lapar dan dahaga,namun juga suasana masa lalu dan pengetahuan sejarah bagi pengunjungnya.
Terletak di dalam kota Malang yang sejuk, Restoran Inggil (Jawa: Tinggi) adalah mengambil tempat sebuah rumah tua jaman Belanda yang penuh dengan hiasan panel masa lalu. Di berbagai sudut ruangan nampak dipajang foto-foto tua kota Malang dalam bahasa Belanda, foto-foto tokoh politik dan perjuangan Indonesia seperti Bung Tomo, Bung Hatta, Jenderal Soedirman. Bendera merah putih kecil yang pernah dipasang di mobil Presiden Soekarno manakala mengunjungi Malang juga dipamerkan. Ada pula peta kota yang dibuat dalam masa penjajahan, Kaart van Malang. Di lorong masuk kita bisa menyaksikan dokumentasi foto alun-alun Malang, jembatan yang dirancang oleh Thomas Kaarsten, peresmian tugu Malang pada awal dekade 50-an oleh Presiden Soekarno, dan beberapa dokumentasi menggambarkan sidang KNIP, sebuah badan yang diberi mandat oleh Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, sebuah badan yang merupakan cikal bakal DPR sekarang. Untuk diketahui, Sidang Pleno ke-5 KNIP memang diselenggarakan di Malang, di sebuah tempat bernama Gedung Concordia yang sayangnya kini telah tiada lagi, dan kini menjadi pertokoan Sarinah.
Selain itu, di ‘sekujur’ ruangan restoran kita juga bisa menikmati iklan-iklan tua dari toko pakaian, cerutu, hingga bedak. Beberapa benda antik seperti sepeda tua, kuda goyang mainan untuk anak-anak pada masa lalu, radio tabung, telepon tua serta berbagai perlengkapan hidup masa lalu juga ada di sana. Masih kurang? Inggil resto juga memajang benda-benda kuno peninggalan Majapahit seperti terakota, pecahan-pecahan guci, batu bata dan lain-lain perlengkapan di jaman kejayaan Nusantara itu. Tidak saja itu, di satu sudut ruangan juga terpajang fosil gading gajah purba yang berusia jutaan tahun dan beberapa fosil lainnya. Singkatnya, mengisi perut atau sekedar menghabiskan waktu di restoran ini sekaligus juga akan mendapatkan pengetahuan sejarah akan masa lalu.
Menu yang dihidangkan juga cukup bervariasi, mulai dari sate ayam, sate daging (entahlah apa yang dimaksud dengan sate daging ini, mungkin sate kambing, atau bisa jadi sate sapi) dan juga berbagai menu dari ikan segar seperti ikan gurameh dan bawal. Untuk minuman, restauran ini menyediakan minuman tradisi seperti wedang ronde, beras kencur, dan aneka juice. Tentu saja minuman modern seperti beer juga bisa didapat di sini. Saya tidak makan apapun ketika mengunjungi restauran ini bersama kawan-kawan karena masih kenyang sehabis makan malam di hotel tempat saya menginap selama beberapa hari di Malang. Saya hanya minum jus alpukat yang rasanya cukup standar sebagaimana jus alpukat di tempat lain. Seorang kawan yang memesan wedang ronde mengatakan bahwa minuman yang dipesannya enak dan pas. Sate ayam yang disajikan juga terbilang lumayan. Walau begitu seorang kawan lain mengatakan hidangan restoran ini agak ‘anyep’, sebuah istilah dalam Jawa yang makna harfiah-nya adalah dingin, dan dalam konteks kuliner dipakai untuk menggambarkan makanan yang bumbunya kurang ‘nendang’. Sementara itu suguhan musik live jazz yang ditampilkan kala saya mengunjungi resto ini sebenarnya juga cukup menghibur dan nampak dimainkan dengan skill yang lumayan. Hanya saja, home band Resto Inggil ini tidak menjalin komunikasi yang hangat dengan pengunjung. Mereka memainkan lagu-lagu jazz, dan seolah bermain sendiri, tidak menjalin komunikasi walau sekedar sapa dan canda ringan. Seorang kawan dengan kritis mengatakan bahwa sebenarnya jazz adalah antitesis musik klasik dimana ada jarak antara audiens dan para musisi. Kekakuan dan dinginnya para musisi yang mengiringi kami makan malam itu tidak menawarkan kehangatan seperti yang sebenarnya kami harapkan.
Resto Inggil ini tentu saya rekomendasikan untuk siapa saja yang menaruh minat pada sejarah dan segala hal yang berkaitan dengan masa lalu. Harga menunya? Saya tidak sempat mengamati daftar menu secara menyeluruh. Hanya saja,satu menu yang masih saya ingat harganya adalah sate ayam seharga 15,000 rupiah (kunjungan Juli 2012), yang saya pikir cukup murah dan tak terpaut jauh dengan sate pinggir jalan terlebih di restoran yang menawarkan suasana masa lalu seperti ini.

mkwardaya Avatar

Published by

Categories:

Leave a comment